Benar2 menyayat dalam, dalam arti sesungguhnya karena..
Bukan berarti saya gunting sampai benar-benar putus,
Cuma kegunting sedikit kok diujung jari.
Permasalahannya adalah darahnya ngucur ga berhenti-berhenti.
(Tapi di foto itu udah mulai berhenti gara-gara kena pehacain alias lidocain + epinefrin alias bius lokal + penghenti perdarahan, makanya darahnya udah ga banyak-banyak banget)
Lukanya kecil. Ada skin loss sih, jadi bukan masuk kategori luka sayat. Tapi masalahnya darahnya itu ga berhenti2. Sudah dibebat tekan, masih aja ngucur. Tandanya lukanya memang dalam. Mana hasil potongan jari saya itu masih iwir-iwir (kalo org jawa bilang) saya pegang. Rasanya gimana gitu. Disertai darah yang ngucur menuhin tangan, situasi jadi agak panik.
Pada akhirnya saya lari (nggak lari juga sih, jalan biasa kok) ke UGD, saya cari koas-koas bedah yang tersisa dari jaga semalem dan saya tunjukin ke mereka gimana kondisijari saya. Setelah dibersihkan lukanya, dengan pertimbangan bersama bahwa lukanya ga berhenti-berhenti lebih baik dijahit, paling nggak 1 jahitan.
Saya lari ke depo farmasi untuk beli pehacain (lidocain + epinefrin, untukobat bius sekaligus menghentikan perdarahan), koas bedahnya nyari minor set (alat bedah sederhana), jarum jahit, benang jahit, dan kelengkapan lainnya.
Oh iya, saya belum melewati stase bedah, jadi kalo masalah jahit kulit hasil kecelakaan2 gitu masih belum familiar. Tapi saya sudah melewati stase obgyn (kandungan) jadi jahit menjahit yang saya familiar cuma jahit vagina pasca persalinan sama jahit rahim perut pasca operasi caesar.
Saya tau lah sedikit banyak tentang proses penjahitan dan saya tau bagian-bagian mana yang sakit.
setelah ini akan saya jelaskan dengan detail..
Bagian pertama yang sangat sakit adalah saat disemprot oleh betadine. Awalnya luka dibersihkan. Saya masih biasa aja. Begitu mau disemprot betadine, udah mulai deh ancang-ancang. Sawitri (koas bedah sudi yang menerima saya sebagai pasiennya) sebelum nyemprot udah ngingetin "bakal sakit lho er!"
Ya saya juga tau kalo bakal sakit, hzzzz. Tapi begitu bener2 disemprot, peeeeh, rasa sakitnya itu nusuk banget. Ga pernah kebayang. Itu bahkan lebih sakit dari waktu keguntingnya.
Akhirnya setelah ber-rembes2 ria meja operasi sudah disiapkan, tangan saya sudah siap dilakukan tindakan. Nah anehnya saya minta dijahit sama Sawitri, kok tiba-tiba mas Budi nongol dan ambil posisi buat ngejahit, Sawitri malah terposisikan jadi asistennya.
(-_-") Ini orang-orang gimana sih? Nggak konsisten..
Waktu dibetadine kan sakit tuh ya saya bilang, bahkan lebih sakit daripada waktu keguntingnya. Tapi jangan salah, waktu jarum bius masuk disekitar luka itu masih jauh lebih sakit lagi. Hahahaha..
Nggak nyangka sakitnya kayak gini..
Dulu waktu di obgyn gampang banget bilang,"ditahan sebentar ya bu, ini saya jahit dulu, sementara sakitnya ditahan". Dengan mudahnya saya potong perineum dan vagina seorang ibu untuk membantu melancarkan persalinan. Dengan mudahnya saya semprotkan betadine ke bagian yang luka di vagina sebelum dijahit. Dengan mudahnya saya masukin bius ke dinding vagina bagian kiri dan kanan.
Pengalaman ini benar-benar mengajarkan saya bahwa betapa sulitnya menata hati sebagai pasien. Datang karena sakit, kadang dalam proses penyembuhannya ada sebuah prosedur yang menambah rasa sakitnya. Saat mengeluh, kadang tidak digubris, hanya dinasehati agar sabar dengan wajah datar seolah sekedar formalitas.
Ini masih mending yang sakit saya sendiri.
Nggak kebayang bagaimana orang tua yang anaknya sedang tergeletak koma dalam intubasi dan bantuan nafas di ruangan High Care Unit.
Bagaimana caranya menata hati sedangkan dihadapannya darah dagingnya sendiri sedang meregang nyawa..?
Jujur mungkin sejak masuk stase ilmu kesehatan anak (IKA, atau bisa disebut pediatri) rasa empati saya mulai turun pada pasien. Tuntutan moral para orang tua terlalu besar. Begitu juga tuntutan secara fisik. Bayangkan, jika sedang "beruntung" maka dari sore sampai besok paginya kita akan terus memberikan bantuan nafas pada seorang anak, hingga teman kita sesama koas menggantikan kita atau pasiennya meninggal. Walaupun memberi bantuan nafas hanya sesimpel menekan ambubag hingga dada pasien mengembang, tapi kalau harus dilakukan salam berjam-jam tanpa ada kegiatan lainnya maka tidak hanya masalah lelah, tapi juga stress dalam kebosanan yang kita rasakan. Akhirnya rasa empati mulai hilang.
Ini adalah gambaran diri saya jika bagging sedang berkualitas:
Sedangkan ini adalah gambaran saat bagging ada dalam titik nadirnya:
Percayalah, ini sangat tidak manusiawi..
Tapi setelah kejadian kemarin pagi saya jadi merenung lebih dalam..
Betapa sulitnya menata hati saat kita menjadi seseorang yang berdiri pada sisi pasien..
Dan hasil renungan inilah yang membuat saya menyadari bahwa..
saat menghadapi pasien!
NB:
Oh iya, ini Sawitri disebut-sebut tapi malah ga ada fotonya!
Mas Budi doang yang kelihatan..
Padahal di foto di atas harusnya ada Sawitrinya, coba yang ngefoto agak geser ke kanan sedikit aja, pasti udah kelihatan.
Okelah, bakal saya upload di sini fotonya dia sebagai tanda terimakasih, Haha~